Jumat, 01 Juli 2011
DPRD Langkat Temukan Alih Fungsi Hutan Mangrove
Langkat, 23/6 (ANTARA) – Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Langkat, Sumatera Utara menemukan alih fungsi hutan mangrove, di Lubuk Jaya Desa Kuala Serapuh Kecamatan Tanjungpura.
“Komisi I menemukan dan menyaksikan alih fungsi lahan mangrove di Tanjungpura,” ujar anggota Komisi satu DPRD Langkat, Ir Antoni Ginting di Stabat, Kamis.
Anggota komisi lainnya yang turut menyaksikan alih fungsi lahan mangrove tersebut adalah Reza Pahlevi, Sarmin Sihotang, Sukirin dan Sakat, katanya.
Selain itu pihaknya juga menerima laporan dari 200 orang dari warga setempat, yang merasa terancam karena beralih fungsinya hutan mangrove yang mencapai 260 hektare.
Antoni mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung perjuangan yang dilakukan masyarakat, untuk menghijaukan kembali hutan mangrove yang telah beralih fungsi itu.
“Kita sangat mendukung rehabilitasi hutan mangrove di Tanjungpura, agar kembali berfungsi sebagai hutan penyangga dan tempat berkembang biaknya biota laut,” katanya.
Sementara itu salah seorang warga setempat, Marto mengatakan bahwa lahan mengrove yang beralih fungsi sekarang ini, jelas perampasan tanah negara, yang akan dijadikan lahan perkebunan sawit.
“Jelas masyarakat tidak akan menerima hal tersebut,” katanya seraya menambahkan bahwa kehidupan masyarakat di sini yang hampir sebagian besar nelayan, sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove.
Di hutan mangrove itu nelayan akan mendapatkan penghasilan, tapi kini dihancurkan jadi perkebunan sawit, tegas Marto.
Ratusan orang juga berjanji di hadapan para anggota Komisi I DPRD Langkat tersebut, apabila lahan sawit dapat dicegah, maka mereka siap menanam kembali mangrove dengan swadaya masyarakat.
Karena kami tidak ingin akibat alih fungsi lahan tersebut, dampaknya akan merugikan warga setempat diantaranya menyebabkan banjir serta adanya binatang khususnya (monyet) sudah berpindah ke rumah penduduk sekarang ini, kata mereka.
Dalam kesempatan itu anggota Komisi I yang turun ke lokasi melihat kondisi hutan mengrove yang telah gundul, dan terlihat satu alat berat (beco) sedang bekerja menimbun benteng untuk ditanami sawit.
Secara terpisah Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Sumatera Utara, Surkani, yang dihubungi berharap agar komisi I DPRD Langkat, segera memanggil pihak-pihak yang terlibat terjadinya alih fungsi hutan mangrove tersebut.
“Segera dilakukan pemanggilan terhadap mereka yang terlibat alih fungsi lahan mangrove seluas 260 hektare tersebut,” katanya.
Hal ini dilakukan untuk menghindari tindakan yang tidak diinginkan nantinya, yang berkaitan dengan masyarakat setempat, katanya.
260 Hektar Hutan Bakau Jadi Kebun Sawit
LANGKAT, KOMPAS.com — Seluas 260 hektar hutan bakau dari 520 hektar yang ada di Desa Kuala Serapuh Kecamatan Tanjungpura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
"Akibat alih fungsi lahan bakau tersebut kini masyarakat di Dusun III Lubuk Jaya, Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjungpura, terancam luapan air pasang," ujar Suroso, salah seorang warga di Tanjungpura, Minggu (19/6/2011).
Di Pulau Serwak, Pulau Teluk Nibung, dan Paluh Cincang, Desa Kuala Serapuh Tanjungpura, ada hutan mangrove (bakau), diperkirakan seluas 520 hektar.
"Namun, sekarang kondisinya sudah sangat memprihatinkan, di mana seluas 260 hektar telah beralih fungsi untuk dijadikan lahan perkebunan sawit oleh seorang warga Tanjungpura," kata Suroso, yang mewakili 116 orang masyarakat yang berada di sana.
Sejak April 2011, warga Tanjungpura itu terus melakukan pembersihan areal hutan mangrove, nipah, lenggadai, perepat, nirih, buta-buta, api-api di lahan tersebut.
Pembersihan lahan tersebut terlihat untuk dijadikan areal perkebunan sawit dengan membangun tanggul melingkar menggunakan dua unit alat berat (beco) agar luapan air pasang maupun limpahan air sungai tidak masuk ke areal, yang akan dijadikan perkebunan sawit. "Kondisi hutan tersebut telah rata dengan tanah dan kini sangat memprihatinkan," kata Suroso.
Sementara itu, salah seorang warga Kuala Serapuh lainya, Suprapto, menjelaskan pula, akibat dari penanggulan tersebut kini masyarakat terancam penyebaran luapan air pasang dan luapan banjir sungai.
"Hal akan jadi korban adalah ratusan hektar areal pertanian dan permukiman masyarakat yang berada di Lubuk Jaya, Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjungpura," katanya.
Untuk itulah, mereka sangat berharap perhatian dari Muspida Langkat, termasuk Kepala Wilayah Kecamatan Tanjungpura, untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
"Surat pengaduan juga sudah kami sampaikan tertanggal 26 Mei 2011 lengkap dengan berbagai kronologinya, karena kami tidak ingin hutan yang akan dialihfungsikan untuk kepentingan oknum, sementara masyarakat yang akan menahankan penderitaannya," kata Suprapto.
Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Sumatera Utara, Surkani, berharap agar Polres Langkat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan segera menindak lanjuti laporan warga tersebut.
Termasuk juga piminan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Komisi I DPRD Langkat, di mana surat yang dilayangkan masyarakat dapat pula ditindaklanjuti secepatnya.
"Segera turunkan tim kelapangan mencermati laporan warga masyarakat yang terancam kebanjiran dengan beralih fungsinya lahan mangrove tersebut," kata Surkani.
Sejarah Kota Medan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Kota Medan
Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa.[8]
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama.
Sejak tahun 1950, Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat.
Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa.[8]
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama.
Sejak tahun 1950, Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat.
Langganan:
Postingan (Atom)